Mengendalikan Hati, Mengontrol Konsumsi
July 20, 2012Manusia jaman sekarang sudah tidak bisa lepas dari
kegiatan konsumsi. Untuk bertahan hidup, kita mencari uang dengan bekerja lalu
membelanjakannya untuk makan dan kebutuhan sehari-hari, mungkin juga menabung
dan berinvestasi. Idealnya, kita melakukan kegiatan konsumtif ya sesuai dengan
kebutuhan saja. Tapi faktor eksternal (meningkatnya iklim bisnis, misalnya) dan
internal (kepribadian dll) membuat kita cenderung melakukan kegiatan konsumsi
yang lebih dari kebutuhan. Makan tidak sekedar karena lapar tapi karena ’kabita’
(hmm itu bahasa Sunda, bahasa Indonesianya mungkin ’ngiler karena orang lain’).
Belanja ini-itu padahal sebetulnya tidak terlalu perlu, sekedar memenuhi nafsu
membeli.
Tapi ya memang begitu ya manusia. Tidak bisa selalu
mengikuti logika, tapi dipengaruhi emosi dan perasaan juga, termasuk dalam
melakukan kegiatan konsumsi. Mungkin karena itu juga jadinya saya tertarik
untuk lebih mengetahui tentang perilaku konsumen. Tema skripsi seputar itu, rencana
studi ke depan pun (kalau mendapat kesempatan) inginnya belajar tentang itu.
Menarik dan ngga ada habisnya…
Nah, kembali ke soal konsumsi. Salah satu fenomena
konsumen yang menarik juga terjadi dalam konteks Ramadhan.
gambar dari sini
Ramadhan dimaksudkan sebagai bulan pembelajaran bagi umat
muslim, untuk mengontrol hawa nafsu. Juga untuk belajar berempati pada orang
yang kurang beruntung. Makan cukup dua kali saja saat sahur dan buka puasa. Hawa
nafsu yang dikontrol semestinya bukan hanya marah, tapi emosi-emosi lain yang
negatif termasuk juga nafsu untuk belanja sebanyak-banyaknya. Idealnya, selama
Ramadhan dan setelah Ramadhan kita bisa semakin menyadari dan menghargai
nilai-nilai kesederhanaan, menyadari berlebih-lebihan itu sebetulnya tidak ada
faedahnya.
Saya percaya banyak juga yang berhasil mengambil hikmah
yang besar dari Ramadhan. Tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa pada sebagian
orang kegiatan konsumsinya selama Ramadhan justru meningkat. Merasa perlu untuk
makan makanan enak dengan ta’jil bervariatif ketika berbuka (menunjuk diri
sendiri sebetulnya). Merasa perlu membeli banyak baju baru menjelang Idul
Fitri. Bukannya itu salah sih, mungkin itu memang cara untuk menghargai bulan
yang istimewa ini. Lagipula menambah rejeki untuk para pedagang. Tapi ya itu
tadi, sayang sekali karena Ramadhan-nya tidak dijadikan kesempatan untuk
belajar mengendalikan nafsu belanja, membedakan yang mana yang benar-benar
butuh dan yang mana yang sekedar euforia kepengen saja.
Saya menulis ini bukan berarti sudah mampu mengendalikan
diri juga. Kalau buka saya masih tetap ingin makan ta’jil yang macam-macam,
misalnya. Makanya tulisan ini juga untuk mengingatkan diri sendiri. Bersyukur
sekali karena bisa bertemu lagi dengan bulan Ramadhan. Sekarang juga sedang
masa-masa galau karena banyak hal yang harus diurus, dan di bulan yang penuh
rahmat ini bisa berdoa sebanyak-banyaknya supaya segala urusan dilancarkan.
Jadi sekalian juga mudah-mudahan di bulan ini bisa meningkatkan kualitas diri,
salah satunya ya mengendalikan hati dan juga mengontrol perilaku konsumsi…
Ramadhan Mubarak…! :-)
2 comments
Puasa Ramadhan emg niatnya ibadah ya (bukan buat diet, hehe). Tp gimanapun juga, yg sering kejadian, pas puasa berat badan malah naik krn makannya jd lbh banyak. Dr segi jumlah (makannya kalap, abis itu tidur, zzz), maupun variasinya yg benernya berbahaya bagi kesehatan, misal: minum es (batuk), too much sugar (makes you fat), gorengan (kolesterol), hehehe. Jd baeknya emg makan dan minum dalam kondisi sadar, bukan dlm kondisi kalap semua mua mau dibeli dan dimakan. Plus berhenti lah makan sebelum eneg, hehehe.
ReplyDeleteWaduh ma-jleb juga, soalnya ta'jil favorit saya ya yang penuh es dan gula hehe...
ReplyDeleteYup setuju, jangan sampai kalap ya kalau lagi buka... Soal diet, itu sekedar efek samping aja.. ^^;
Terima kasih sudah membaca..!! :)
Silakan tinggalkan komentar disini ya...