How to Screw Up your Interview: Lesson Learned from Monbukagakusho Selection

August 03, 2012

Di beberapa postingan ke belakang saya sempat menulis tentang usaha dream chasing yang sedang dilakukan, tapi tidak berani saya ceritakan lebih jauh karena takutnya pamali. Nah, sekarang sudah tidak perlu dipendam lagi, karena hasilnya sudah keluar. Sayangnya hasilnya tidak menggembirakan…

Jadii, selama beberapa bulan ini saya mengikuti seleksi beasiswa Monbukagakusho dari pemerintah Jepang. Maka dari itu saya jadi sering pulang ke Sukabumi; Karena harus mengurusi seleksi ke Jakarta jadi sekalian saja mampir ke rumah. Ada dua tahap besar dalam seleksi ini: Primary Screening, dilakukan oleh Kedutaan Jepang di Indonesia, dan Secondary Screening, dilakukan oleh pihak pemberi beasiswa di Jepang. Primary Screeningnya sendiri terdiri dari tiga tahap: Seleksi dokumen, tes tertulis, dan tes wawancara. Saya gagal di tahap wawancaranya.


 gambar dari sini

Agak menyedihkan karena lagi-lagi saya menulis entry tentang kegagalan, seperti postingan Kompetiblog yang kemarin. Tapi momen ini juga penting untuk diingat dan dibagikan, yah sebagai pelajaran untuk ke depannya untuk saya. Dan juga mungkin untuk pembaca yang berminat pada beasiswa monbukagakusho.

 Oke, kemarin saya sudah puas merutuki kebodohan diri sendiri dan melampiaskan kekecawaan dengan berbuka agak mewah. Saya juga sudah mendapat sesi curhat yang cukup produktif dengan mamah dan beberapa teman (thanks a lot you all.. Love youuuu). Jadi sekarang sudah cukup tenang dan siap untuk mengevaluasi pengalaman seleksi kemarin. Saya mulai dari awal, karena tahap seleksi awal pun pada akhirnya cukup berpengaruh pada performance ketika interview.

Seleksi Dokumen
Mendapat kabar mengenai bukaan beasiswa monbukagakusho sekitar awal April 2012. Setelah dilihat persyaratannya, yang belum lulus kuliah pun bisa mendaftar asalkan memberi surat keterangan akan lulus. Jadilah saya minta dibuatkan fakultas, dan mempersiapkan segala persyaratan lainnya (mengisi formulir, meminta surat rekomendasi dari dosen), fotokopi Toefl (yang saya sertakan sebetulnya sudah kadaluarsa tahun 2011, jadi saya sertakan juga IELTS untuk jaga-jaga). Saya juga browsing internet dan membaca-baca pengalaman penerima beasiswa monbukagakusho sebelumnya, sangat inspiratif lah.

Yang paling ribet adalah membuat Research Plan. Selama sebulan saya terus mencari bahan-bahan untuk membuat research plan, sekaligus mencari informasi graduate school di Jepang yang ada kuliah psikologinya. Yang jadi concern adalah bahwa research plan ini harus sesuai dengan minat riset dan bidang studi tujuan saya, dan yang terutama sesuai juga dengan research interest dari profesor yang akan menjadi pembimbing jika diterima dalam program tersebut. Ya, uniknya program beasiswa ini adalah penerimanya tidak langsung menjadi mahasiswa S2, tapi akan jadi Research Student, dan melakukan riset di bawah bimbingan profesor di universitas tujuan.

Kebiasaan menunda saya terapkan juga dalam menyusun Research Plan ini. Deadline pengumpulan dokumen adalah tanggal 2 Mei, dan saya menyusun Research Plan fix persis di malam sebelumnya. Kebetulan akhir April sampai tanggal 1 Mei itu saya ngadju di lomba debat di UI. Jadi, siangnya menilai 4 pertandingan debat dan menemani tim ugm, malamnya evaluasi bersama anak-anak lalu kemudian menyusun research plan. Tetapi untungnya saya sudah punya gambaran apa yang ingin dipelajari disana, dan bisa menemukan topik khusus yang lumayan saya suka dan cukup sesuai dengan profesor yang saya incar. Jadilah tanggal 2 pagi riset plannya selesai, di print di salah satu rental komputer di stasiun ui, dan kemudian pergi ke Kedubes untuk mengumpulkan dokumennya. Setelah mengumpulkan dokumen, lanjut nonton konser Laruku dengan imoto. Memorable sekali tanggal 2 Mei kemarin. Kemudian, menunggu pengumuman sampai satu bulan.

Tes Tertulis
Tanggal 10 Juni saya mengecek website kedubes (untuk kesekian kali), dan menemukan nama saya tercantum diantara 129 peserta yang berhak mengikuti tes tertulis. Baru dua hari kemudian saya ditelepon oleh kedubes yang mengingatkan kembali mengenai jadwal tes tertulisnya. Senang dan deg-degan. Pasalnya sistem seleksi tahun ini agak berbeda dengan tahun sebelumnya. Biasanya lolos seleksi dokumen berarti langsung akan tes tertulis dan wawancara. Kali ini, dari tes tertulis akan disaring dulu menuju wawancara.

Selama sebulan menunggu, saya tidak berani mempersiapkan diri untuk tes tertulis karena takutnya malah ngga lolos (superstitious belief beraksi). Segera setelah pengumuman, saya mencari soal-soal tes tertulis tahun sebelumnya. Yang bahasa Inggris secara umum mirip tes Toefl, jadi selain mengerjakan contoh soal, saya juga membaca-baca lagi buku belajar toefl. Sementara tes bahasa Jepangnya saya pasrah saja, toh kabarnya kalau memang kita daftarnya dengan Toefl ya sudah fokus mengerjakan Toefl saja.

Tanggal 18 Juni, saya sampai di  tempat tes (PSJ UI) terlalu pagi, tapi lumayan dapat kenalan baru. Tesnya sendiri lumayan… Karena sudah berlatih sebelumnya, jadi cukup familiar. Yang bahasa Inggris, setidaknya bisa mengerjakan 85%nya, sisanya itu di tangan Allah deh. Yang bahasa Jepang, ada tiga bagian dan yang saya kerjakan bagian pertamanya saja, itu pun sebagian. Yang bagian pertama itu masih tata bahasa dasar dan menggunakan hiragana soalnya, jadi masih bisa dikerjakan. Bagian dua tiganya kanji semua, menyerah saya….

Sebelum tes dimulai, ibu dari kedubes menjelaskan beberapa aturan, juga memberi tahu bahwa pengumuman siapa yang lulus tes diberikan awal Juli, sekitar tanggal 2. Lagi-lagi, harus menunggu…

Wawancara
Tanggal 4 Juli, pengumuman siapa yang lolos ke tahap wawancara diumumkan lewat website. Sekitar satu perenam peserta tidak lolos, sisanya ada sekitar 90 orang. Masih banyak! Tapi saya sedih karena salah satu kenalan di tes tulis malah tidak lolos ke wawancara. Wawancaranya dibagi ke beberapa hari, sesuai dengan bidang studi. Saya masuk kategori Humanities and Literature, dan kebagian wawancara tanggal 19 bersama 9 orang lainnya, dan salah satunya adalah Ryan. Ups, jadi saingan deh.

Untuk persiapan wawancara, saya membaca ulang research plannya, karena kabarnya saat wawancara akan banyak ditanya mengenai itu. Ketika saya baca ulang, haduuh, kok agak geje ya? Tapi ya sudah memang itu yang harus dipresentasikan. Saya pun mencari bahan-bahan tambahan berkaitan dengan riset dan mengeprint semuanya. Mungkin sedikit obsesif, tapi saya bahkan juga menuliskan daftar pertanyaan yang kira-kira akan ditanyakan (berdasarkan pengalaman peserta sebelumnya), dan mempersiapkan jawabannya….

Tanggal 18 berangkat dari Jogja dengan kereta, tiba di Jakarta tanggal 19 pagi. Menunggu di daerah thamrin dulu sampai siang, baru jam 1 saya ke Kedubes Jepang, bertemu dengan 4 peserta lain yang kebagian wawancara siang. Kami diberi briefing sebelum wawancara. Semua peserta dibagian dokumen yang mesti diisi jika lolos tahap ini. Karena nama saya dari huruf T, dapat giliran terakhir. Tambah nervous, tapi ya sudah waktunya dipakai untuk persiapan saja. Dan ngobrol-ngobrol dengan peserta lain. Keren-keren semuanya. Tiap salah satu peserta selesai, langsung dirongrong pertanyaan oleh yang lainnya. Tiap orang jalannya beda-beda; Ada yang lamaa dan ditanya-tanya detil tentang risetnya, ada juga yang cuma sebentar dan ditanya-tanya soal hal-hal lain selain riset. Ada yang serius, ada yang tertawa-tawa. Huwaa, jadi makin bingung saya...

Giliran saya wawancara akhirnya tiba. Masuk ke dalam ruangan interview, ada 5 pewawancara, 2 orang Indonesia dan 3 orang Jepang. Ke depannya, yang lebih banyak bertanya adalah pewawancara Indonesia Langsung disuruh memperkenalkan diri sekaligus menjelaskan research plan. Agak nervous, saya memperkenalkan diri secara singkat lalu mencerocos tentang research plan, sementara para pewawancara sibuk membaca kertas di tangan masing-masing, pasti itu resume sheet saya. Saya jadi gugup, apakah cerocosan saya berguna... Setelah itu, berbagai pertanyaan bertubi-tubi dilontarkan, dan sedihnya, saya banyak sekali memberi jawaban yang tidak meyakinkan. Selain itu, sepertinya saya memberikan kesan ’belum siap’ pada pewawancara.

Beberapa hal yang sepertinya jadi faktor kegagalan saya:

-          Skripsi yang belum selesai. Di aplikasi, saya menyertakan abstrak skripsi yang menyatakan bahwa skripsinya masih on-going dan belum memperoleh hasil, dan pewawancara menanyakan sekarang bagaimana kelangsungan skripsi saya. Alih-alih menjelaskan setidaknya sedikit penemuan yang sudah didapat, saya malah bilang ’yaa sudah 80% selesai, masih dalam proses analisis’. Padahal keempat peserta wawancara lainnya sudah pada lulus, yang satu baru saja pendadaran sehari sebelumnya. Walaupun saya bilang bahwa saya akan pendadaran bulan September, tetap saja kan masih lebih lambat dibanding yang lainnya... >_<

-          Bahasa Jepang yang masih di bawah standar. Sebetulnya banyak juga peserta yang diterima tanpa bahasa Jepang, masalahnya, seperti yang dibilang oleh salah satu pewawancara, research plan saya ini di bidang psikologi yang membutuhkan bahasa jepang yang lebih dalam, harus tahu istilah-istilah psikologi dalam bahasa Jepang. Jawaban saya agak pragmatis waktu itu, bilang bahwa ’ya kalau saya diterima akan langsung belajar bahasa Jepang dengan ekstensif’. Ibunya menjawab, belajar bahasa itu selalu menguntungkan loh walaupun bukan untuk kuliah.. Haduh sepertinya saya terkesan tidak berminat belajar nihongo jika tidak dapat beasiswanya, padahal kan tidak begitu juga... Sebetulnya saya kan juga sudah lumayan banyak belajar karena suka komik dan Arashi dan sebagainya... tapiii sayang saya tidak sempat menjelaskan itu...

-          Belum menghubungi calon profesor. Peserta wawancara yang lainnya rata-rata sudah saling kontak dengan profesor yang mereka incar, sementara saya dengan apatis bilang bahwa saya baru akan menghubungi calon profesornya jika sudah dinyatakan lolos primary screening... Soalnya saya ingin ketika meghubungi beliau sudah ada jaminan yang lebih pasti bahwa saya akan masuk kesana, karena kalau tidak begitu saya khawatir tidak akan dapat respon positif. Ya ampuuun kan jawaban seperti itu mengesankan saya suuzon ya sama para profesornya..? Huwaa bodoh sekalii....

-          Future plan yang kurang sesuai dan belum mantap. Kabarnya, beasiswa ini lebih sering diberikan untuk orang yang bertujuan jadi dosen. Interviewnya bertanya, ’dari research planmu ini, berarti untuk kelanjutannya kamu akan ambil jalan profesional, bukan akademik?’. Terpancing, saya langsung mengiyakan, bilang bahwa saya ingin bergabung dengan perusahaan atau organisasi yang bidangnya sesuai dengan minat saya. Padahal kan bisa saja ya saya bilang ingin berkarir di akademik juga..? Bodohnya. Lebih jauh lagi, ibunya minta disebutkan NGO yang saya maksud. Belum terpikirkan, akhirnya saya menyebut satu NGO lokal yang sebetulnya juga tidak terlalu saya tahu bidang kerjanya apa saja... Hyaa...

-          Masih banyak lagi jawaban-jawaban bodoh yang saya buat. Ketika ditanya apakah akan membuat riset saya jadi cross-cultural (karena di research interest saya tulis cross-culture, juga menyebutkan pengalaman bikin riset waktu di Sweden), saya jawab, ’itu rencana yang menarik, tapi secara realistis, riset lintas budaya itu kan tidak mudah ya, jadi saya tidak bisa menjanjikan juga’.. Kenapa coba jawaban saya bisa sepesimis itu? Apa susahnya bilang ’ya tentu saja akan saya usahakan!’...??
Ketika ditanya kira-kira kesulitan apa yang akan dihadapi dalam melakukan riset (selain bahasa), saya jawab biaya...
Oh iya, riset saya juga ditanya-tanya, misalnya apa dasar alasan saya memilih A sebagai instrumen eksperimennya? Karena menurut interviewnya, A adalah variabel yang mungkin bisa mengukur subyek Indonesia, tapi belum tentu bisa untuk subyek Jepang. Lah saya tidak memberikan respon cerdas semacam ’iya karena itulah saya ingin bisa ke Jepang dan menemukan variabel yang bisa benar-benar mengukur... Ini masih fleksibel kok rencana risetnya’. Sepertinya waktu itu saya cuma bilang, ’wah benar juga bu... terima kasih sarannya..’.
Bahkan ketika interview yang orang Jepang bertanya, dari kunjungan saya ke Jepang sebelumnya, apa yang paling berkesan? Saya tidak bisa menjawab dengan cerdas... Simply bilang yang terlintas di kepala, teknologi dan entertainmentnya, karena waktu itu saya berkunjung ke Namco Namja Town. Argh.

Interview saya tidak terlalu lama. Begitu keluar dari ruangan, rasanya lemas dan ingin menangis. Gimana ya, kita juga sebetulnya bisa merasakan kan, apakah kita berhasil meng-impress orang atau tidak. Dulu waktu interview AJE, saya keluar dari ruangan dengan perasaan lumayan lega, walaupun agak galau dengan beberapa jawaban bodoh tapi secara keseluruhan saya bisa merasakan bahwa pewawancaranya cukup antusias dalam menginterview. Nah dari interview yang ini, somehow saya merasa bahwa para pewawancaranya tidak begitu terkesan dengan saya. Fatal sekali.

Selama menunggu pengumuman, saya galau luar biasa. Ingin sekali naik mesin waktu dan mengulang proses wawancaranya. Akhirnya cuma bisa berdoa mudah-mudahan ada keajaiban yang bisa meloloskan saya. Tapi sayangnya, tidak terjadi. Tanggal 31 kemarin pengumumannya keluar, nama saya tidak termasuk yang lolos wawancara.

Sedih sekali, tapi tidak sampai shock. Karena memang sudah agak bisa diduga. Sisi positifnya, sesama peserta yang saya kenal waktu tes tertulis dan wawancara berhasil lolos, jadi turut senang untuk mereka.. Tapi tetap saja, rasanya sebal pada diri sendiri, bisa-bisanya mengacaukan wawancara yang sudah jadi impian entah sejak kapan. Padahal sudah pernah dapat mata kuliah wawancara. Padahal sudah sering latihan public speaking dan mempersuasi orang.. Lagi-lagi, saya diingatkan betapa terbatasnya kemampuan saya sebagai individu. Masih harus terus belajar....

Apakah akan mencoba monbukagakusho lagi tahun depan? Hmm, entahlah. Kalau ikut lagi, sudah terlalu tua waktu berangkat. Tapi apa yang akan terjadi tahun depan sih, siapa yang tahu...? Sekarang akan betul-betul fokus mengerjakan skripsi dulu saja. Baru setelah itu mengejar berbagai macam hal lainnya. Ffiuh. Tetap semangaaat!!

You Might Also Like

0 comments

Terima kasih sudah membaca..!! :)
Silakan tinggalkan komentar disini ya...