Seberapa akurat kah ungkapan diatas berlaku? Di mata kuliah intercultural communication yang sedang saya ikuti, pak dosennya sempat membahas mengenai konsep bahasa mencerminkan bangsa ini. Ada beberapa teori yang menjelaskan bahwa bahasa dan budaya membentuk cara berpikir seseorang (misalnya teori Saphir-Whorf), dan banyak juga contoh yang sudah banyak dikenal orang, misalnya: Orang Eskimo punya banyak perbendaharaan kata untuk istilah salju, sementara orang Inggris punya banyak perbendaharaan kata untuk bagian-bagian daging sapi. Orang Swedia? Punya banyak perbendaharaan kata untuk produk-produk susu: Mjölk, Lattmjölk, mellanmjölk, filmjölk, etc etc...
Sebagai penyuka budaya pop Jepang dan Korea, otomatis playlist saya selalu didominasi oleh lagu-lagu dari kedua negara tersebut. Tapi yaa sesekali ada variasi juga. Waktu di Indo, kadang ada lagu Top40 lokal/barat yang jadi saya sukai gara-gara diputer dimana-mana, atau dinyanyikan teman waktu karaoke..
Sekarang pun biar tinggalnya di Swedia, tetap saja yang didenger lagu-lagu Arashi, OOR, IU, soundtrack anime dan drama yang baru ditonton... Tapii lagi-lagi ada variasinya. Swedia juga kan terkenal sebagai negara penghasil musik berkualitas (siapa yang nggak tahu ABBA?), jadi kalau sampai saya nggak terekspos dengan lagu yang bagus, malah aneh...
Lagu yang selama tiga bulan-an ini paling berkesan untuk saya...
Sekarang pun biar tinggalnya di Swedia, tetap saja yang didenger lagu-lagu Arashi, OOR, IU, soundtrack anime dan drama yang baru ditonton... Tapii lagi-lagi ada variasinya. Swedia juga kan terkenal sebagai negara penghasil musik berkualitas (siapa yang nggak tahu ABBA?), jadi kalau sampai saya nggak terekspos dengan lagu yang bagus, malah aneh...
Lagu yang selama tiga bulan-an ini paling berkesan untuk saya...
Dengan sejarah demokrasi yang panjang, tidak heran Swedia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kualitas demokrasi yang tinggi. Sementara itu Indonesia sering disebut-sebut sebagai salah satu contoh negara yang mampu mengimplementasikan demokrasi dengan baik, tapi kalau dilihat dari banyaknya kasus-kasus korupsi, pelanggaran ham dan berbagai isu lainnya, masih jauh juga untuk mencapai kondisi yang ideal. Sistem demokrasi sendiri memang tidak
lepas dari beberapa kekurangan, tapi setidaknya sistem ini bertujuan
untuk memenuhi hak asasi manusia dengan sebaik-baiknya.
Anyway. Hari Senin kemarin saya berkesempatan mengikuti Democracy & Human Rights workshop yang diadakan di Stockholm oleh Swedish Institute. Agendanya adalah kunjungan ke gedung parlemen Swedia -the Riksdag-, lalu dilanjut dengan workshop mengenai demokrasi dan HAM.
Di sesi pertama, saya dan peserta workshop lain dipandu untuk berkeliling gedung parlemen...
Padahal saya belum pernah masuk gedung DPR RI, tapi ini malah masuk gedung DPR Swedia... Yah rumput tetangga memang tampak lebih menarik ya. Sambil berkeliling, kami mendapat banyak informasi menarik mengenai sejarah dan situasi parlemen di Swedia. Dari penjelasan mbak pemandu, bisa dilihat bahwa kondisi parlemen di Swedia sangat transparan dan terbuka. Siapapun bisa jadi anggota parlemen -asalkan memenuhi syarat minimalnya-, dan semua orang juga bisa memantau kinerja parlemen melalui berbagai media: Datang langsung ke rapat atau meminta dokumen resmi dari parlemennya.
Karena ingin tahu saya googling tentang gaji anggota parlemen Swedia. Tiap bulannya, anggota parlemen mendapat gaji 59.800 Swedish Kronor, yang terlihat banyak sih tapi masih harus dipotong pajak (31-40%). Kalau dibandingkan dengan pendapatan perkapita penduduk disini, gaji anggota parlemen itu sekitar dua kali lipatnya (menurut situs ini). Yang lumayan gede sih ya, tapi nggak sedahsyat gaji anggota DPR indo... yang sampai 18 kali GDP penduduk (menurut situs ini). Intinya, benefit sebagai anggota parlemen disini memang ada tapi nggak terlalu besar, jadi orang kalau mau nyalon ya faktor 'ingin menyumbang bagi masyarakat'nya lebih gede. Dan karena memang benefitnya nggak besar, tiap calon mungkin nggak se-jor-joran caleg di Indo kalau kampanye. Dan kalau kampanyenya nggak lebai, maka nggak akan ada interest untuk 'balik modal' juga ketika sudah jadi anggota parlemen. Ini saya masih belum tau juga sih, belum liat kampanye disini seperti apa, jadi masih harus mengobservasi lagi..
Sesi kedua (setelah lunch di hotel Sheraton, gaya bener ya) adalah diskusi dengan Hanna Gerdes, political advisor untuk Briggita Ohlsson, Menteri urusan Uni Eropa dan Demokrasi Swedia. Beliau menjelaskan peran Swedia dalam usaha untuk menegakkan demokrasi dan HAM di Eropa. Isu-isu yang dibahas meliputi kondisi orang-orang Romani (gipsi) di Eropa, masalah pengungsi, kebebasan berekspresi, corporal punihsment untuk anak-anak, hak wanita, hak LGBT, dan juga meningkatnya neo-nazism di berbagai negara. Untuk isu demokrasi dalam negeri, walaupun sudah memiliki tingkat partisipasi politik yang tinggi (84.6%), pemerintah Swedia masih berusaha juga untuk menaikkan partisipasi masyarakat.
Isu-isu yang dibahas menarik sekali, terutama mengenai masalah meningkatnya kekuatan partai sayap kanan ekstrim (partai berbasis nasionalisme) di berbagai negara Eropa. Mungkin akan menulis tentang ini di lain kesempatan. Para peserta workshop juga banyak memberikan pertanyaan dan pernyataan yang semakin memperkaya diskusinya. Sayang sekali waktu diskusinya sangat singkat.
Bicara soal praktek demokrasi, tahun 2014 besok Indonesia dan Swedia akan sama-sama melaksanakan pemilu legislatif. Euforia menjelang pemilunya sudah terasa bahkan sampai disini: Akhir September lalu saya mengikuti sosialisasi pemilu untuk warga Indonesia di Gothenburg, yang cukup informatif.
Mudah sekali untuk tidak mempedulikan pemilu, karena skeptis dengan kondisi politik Indonesia yang ruwet atau karena simply banyak hal yang dirasa lebih penting misalnya. Padahal hak memilih dalam demokrasi adalah hak yang diperoleh masyarakat kita lewat banyak pengorbanan. Karena itulah sejatinya hak ini mesti dipergunakan semaksimal mungkin.
Anyway. Hari Senin kemarin saya berkesempatan mengikuti Democracy & Human Rights workshop yang diadakan di Stockholm oleh Swedish Institute. Agendanya adalah kunjungan ke gedung parlemen Swedia -the Riksdag-, lalu dilanjut dengan workshop mengenai demokrasi dan HAM.
Di sesi pertama, saya dan peserta workshop lain dipandu untuk berkeliling gedung parlemen...
Gedung DPR Swedia |
Ruang sidang dilihat dari public seats. Highly doubt ada anggota parlemen yang tidur atau menonton video selama sidang berlangsung.... |
Sesi kedua (setelah lunch di hotel Sheraton, gaya bener ya) adalah diskusi dengan Hanna Gerdes, political advisor untuk Briggita Ohlsson, Menteri urusan Uni Eropa dan Demokrasi Swedia. Beliau menjelaskan peran Swedia dalam usaha untuk menegakkan demokrasi dan HAM di Eropa. Isu-isu yang dibahas meliputi kondisi orang-orang Romani (gipsi) di Eropa, masalah pengungsi, kebebasan berekspresi, corporal punihsment untuk anak-anak, hak wanita, hak LGBT, dan juga meningkatnya neo-nazism di berbagai negara. Untuk isu demokrasi dalam negeri, walaupun sudah memiliki tingkat partisipasi politik yang tinggi (84.6%), pemerintah Swedia masih berusaha juga untuk menaikkan partisipasi masyarakat.
Heated discussion |
Bicara soal praktek demokrasi, tahun 2014 besok Indonesia dan Swedia akan sama-sama melaksanakan pemilu legislatif. Euforia menjelang pemilunya sudah terasa bahkan sampai disini: Akhir September lalu saya mengikuti sosialisasi pemilu untuk warga Indonesia di Gothenburg, yang cukup informatif.
Mudah sekali untuk tidak mempedulikan pemilu, karena skeptis dengan kondisi politik Indonesia yang ruwet atau karena simply banyak hal yang dirasa lebih penting misalnya. Padahal hak memilih dalam demokrasi adalah hak yang diperoleh masyarakat kita lewat banyak pengorbanan. Karena itulah sejatinya hak ini mesti dipergunakan semaksimal mungkin.