Demokrasi

November 10, 2013

Dengan sejarah demokrasi yang panjang, tidak heran Swedia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kualitas demokrasi yang tinggi. Sementara itu Indonesia sering disebut-sebut sebagai salah satu contoh negara yang mampu mengimplementasikan demokrasi dengan baik, tapi kalau dilihat dari banyaknya kasus-kasus korupsi, pelanggaran ham dan berbagai isu lainnya, masih jauh juga untuk mencapai kondisi yang ideal. Sistem demokrasi sendiri memang tidak lepas dari beberapa kekurangan, tapi setidaknya sistem ini bertujuan untuk memenuhi hak asasi manusia dengan sebaik-baiknya.

Anyway. Hari Senin kemarin saya berkesempatan mengikuti Democracy & Human Rights workshop yang diadakan di Stockholm oleh Swedish Institute. Agendanya adalah kunjungan ke gedung parlemen Swedia -the Riksdag-, lalu dilanjut dengan workshop mengenai demokrasi dan HAM.

Di sesi pertama, saya dan peserta workshop lain dipandu untuk berkeliling gedung parlemen...

Gedung DPR Swedia
Padahal saya belum pernah masuk gedung DPR RI, tapi ini malah masuk gedung DPR Swedia... Yah rumput tetangga memang tampak lebih menarik ya. Sambil berkeliling, kami mendapat banyak informasi menarik mengenai sejarah dan situasi parlemen di Swedia. Dari penjelasan mbak pemandu, bisa dilihat bahwa kondisi parlemen di Swedia sangat transparan dan terbuka. Siapapun bisa jadi anggota parlemen -asalkan memenuhi syarat minimalnya-, dan semua orang juga bisa memantau kinerja parlemen melalui berbagai media: Datang langsung ke rapat atau meminta dokumen resmi dari parlemennya.

Ruang sidang dilihat dari public seats. Highly doubt ada anggota parlemen yang tidur atau menonton video selama sidang berlangsung....
Karena ingin tahu saya googling tentang gaji anggota parlemen Swedia. Tiap bulannya, anggota parlemen mendapat gaji 59.800 Swedish Kronor, yang terlihat banyak sih tapi masih harus dipotong pajak (31-40%). Kalau dibandingkan dengan pendapatan perkapita penduduk disini, gaji anggota parlemen itu sekitar dua kali lipatnya (menurut situs ini). Yang lumayan gede sih ya, tapi nggak sedahsyat gaji anggota DPR indo... yang sampai 18 kali GDP penduduk (menurut situs ini). Intinya, benefit sebagai anggota parlemen disini memang ada tapi nggak terlalu besar, jadi orang kalau mau nyalon ya faktor 'ingin menyumbang bagi masyarakat'nya lebih gede. Dan karena memang benefitnya nggak besar, tiap calon mungkin nggak se-jor-joran caleg di Indo kalau kampanye. Dan kalau kampanyenya nggak lebai, maka nggak akan ada interest untuk 'balik modal' juga ketika sudah jadi anggota parlemen. Ini saya masih belum tau juga sih, belum liat kampanye disini seperti apa, jadi masih harus mengobservasi lagi..

Sesi kedua (setelah lunch di hotel Sheraton, gaya bener ya) adalah diskusi dengan Hanna Gerdes, political advisor untuk Briggita Ohlsson, Menteri urusan Uni Eropa dan Demokrasi Swedia. Beliau menjelaskan peran Swedia dalam usaha untuk menegakkan demokrasi dan HAM di Eropa. Isu-isu yang dibahas meliputi kondisi orang-orang Romani (gipsi) di Eropa, masalah pengungsi, kebebasan berekspresi, corporal punihsment untuk anak-anak, hak wanita, hak LGBT, dan juga meningkatnya neo-nazism di berbagai negara. Untuk isu demokrasi dalam negeri, walaupun sudah memiliki tingkat partisipasi politik yang tinggi (84.6%), pemerintah Swedia masih berusaha juga untuk menaikkan partisipasi  masyarakat.

Heated discussion
Isu-isu yang dibahas menarik sekali, terutama mengenai masalah meningkatnya kekuatan partai sayap kanan ekstrim (partai berbasis nasionalisme) di berbagai negara Eropa. Mungkin akan menulis tentang ini di lain kesempatan. Para peserta workshop juga banyak memberikan pertanyaan dan pernyataan yang semakin memperkaya diskusinya. Sayang sekali waktu diskusinya sangat singkat.

Bicara soal praktek demokrasi, tahun 2014 besok Indonesia dan Swedia akan sama-sama melaksanakan pemilu legislatif. Euforia menjelang pemilunya sudah terasa bahkan sampai disini: Akhir September lalu saya mengikuti sosialisasi pemilu untuk warga Indonesia di Gothenburg, yang cukup informatif.


Mudah sekali untuk tidak mempedulikan pemilu, karena skeptis dengan kondisi politik Indonesia yang ruwet atau karena simply banyak hal yang dirasa lebih penting misalnya. Padahal hak memilih dalam demokrasi adalah hak yang diperoleh masyarakat kita lewat banyak pengorbanan. Karena itulah sejatinya hak ini mesti dipergunakan semaksimal mungkin.

You Might Also Like

2 comments

  1. Waktu aku SFI sempet nonton video wawancara bareng anggota DPR-nya Swedia. Ternyata orang2nya masih lumayan muda dan ga neko2 banget. Bedalah gayanya sama orang2 DPR Indo yang kayaknya mau dianggep dewa sama yang lain. Jadi simpatik sama orang sini karena itu deh..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah ternyata memang beda ya... Seharusnya emang wakil rakyat itu ya nggak neko neko. Di kita sih orang-orang mudanya mungkin ngga banyak yang minat masuk DPR karena merasa bukan tempat yang cocok untuk mengembangkan diri....

      Delete

Terima kasih sudah membaca..!! :)
Silakan tinggalkan komentar disini ya...