Bahasa mencerminkan bangsa?

November 26, 2013

Seberapa akurat kah ungkapan diatas berlaku? Di mata kuliah intercultural communication yang sedang saya ikuti, pak dosennya sempat membahas mengenai konsep bahasa mencerminkan bangsa ini. Ada beberapa teori yang menjelaskan bahwa bahasa dan budaya membentuk cara berpikir seseorang (misalnya teori Saphir-Whorf), dan banyak juga contoh yang sudah banyak dikenal orang, misalnya: Orang Eskimo punya banyak perbendaharaan kata untuk istilah salju, sementara orang Inggris punya banyak perbendaharaan kata untuk bagian-bagian daging sapi. Orang Swedia? Punya banyak perbendaharaan kata untuk produk-produk susu: Mjölk, Lattmjölk, mellanmjölk, filmjölk, etc etc... 


Nah yang menarik adalah contoh yang diberikan oleh pak dosennya. Beliau menunjukkan video TED dengan pembicara Keith Chan, seorang behavioral economist, yang menjelaskan hipotesisnya mengenai hubungan antara futureless language dengan kebiasaan menabung:



Rangkuman untuk yang tidak sempat menonton videonya: 
Pertama-tama beliau mengkategorikan bahasa menjadi dua: "futured language", yaitu bahasa yang punya aturan spesifik untuk mengungkapkan kejadian di masa depan. Contohnya bahasa Inggris, yang jelas sekali ada perubahan kata kerja antara "I ate yesterday", "I eat today", dan "I will eat tomorrow". Sementara "futureless language" tidak memaksa penggunanya untuk menggunakan aturan tertentu dalam mengungkapkan kejadian di masa depan. Beliau mencontohkan bahasa Cina, tapi saya sih langsung relate dengan bahasa Indonesia: "saya makan kemarin", "saya makan sekarang" dan "saya makan besok", kata makannya nggak berubah.

Setelah melakukan survey, beliau menemukan bahwa masyarakat yang menggunakan "futureless language" memiliki kebiasaan menabung lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat yang menggunakan "futured language". Beliau menduga bahwa penyebabnya adalah masyarakat dengan "futureless language" itu mempersepsikan masa depan sebagai sesuatu yang sangat berhubungan dengan masa kini. Karena itu, orang-orangnya merasa harus mempersiapkan diri untuk masa depan, dengan menabung. Sementara masyarakat dengan "futured language" mempersepsikan masa depan sebagai sesuatu yang jauh, jadi tidak merasa perlu mempersiapkan diri.

Kesimpulan yang menarik. Selama ini saya menganggap ketiadaan aturan untuk future tense itu berefek negatif, misalnya bikin orang Indo kurang tepat waktu... Hehe karena masa kini dan masa depan nggak ada batas yang jelas, jadi terbiasa dengan istilah jam karet, misalnya. Tapi itu baru asumsi saya saja sih. Nah kalau hubungannya dengan perilaku menabung, tadinya saya pikir justru masyarakat pengguna future tense itu lebih rajin menabung karena mereka punya konsep tentang masa depan yang jelas. Sementara yang nggak punya future tense mungkin lebih santai dan merasa nggak perlu menabung. Dulu pernah ada kan lagu "ayo menabung" dari Saskia dan Geofani (mereka apa kabar ya?), apa lagi alesannya kalau bukan untuk meningkatkan minat menabung yang kurang?


Anyway, Karena masih nggak yakin dengan kesimpulannya, saya coba cari-cari informasi tentang perilaku menabung di Indonesia. Ternyata, beberapa artikel bilang bahwa orang Indonesia itu termasuk orang yang rajin menabung rupanya. Hee, jadi hipotesis mas Chen mendapat dukungan tambahan.. ^^

Oh iya, beberapa waktu lalu Zilko membahas perbedaan penggunaan kata ganti orang di Belanda, Indonesia, dan beberapa negara lainnya.Ini juga menarik nih. Pasti ada alasannya kenapa beberapa bahasa cuma punya satu kata untuk ganti orang kedua, dan bahasa lain punya beberapa kata ganti untuk orang kedua. Mungkin nanti akan membahas lagi soal ini di lain kesempatan ^^

You Might Also Like

4 comments

  1. Yay Intercultural Communication!! I am so happy that I am not the only one interested in this study. I believe we are talking about linguistic relativity - determinism?

    I am pretty sure that this hypothesis has already been criticised before. I admit that there is a correlation between language and thoughts, but I would probably suggest that it works the other way round. I must say, instead of "language affects culture", it must be the "culture that affects language". However language reinforces the concept to the culture, so it becomes the Culture (with capital C) of a nation.

    Wow, I can't believe I actually talk about this again. Thank you for such a great article. ^__^

    ReplyDelete
    Replies
    1. I'm glad if you find this article interesting,.! :)

      The lecturer indeed explained some oppositions to relativity-determinism theory, such as the linguistic universalism concept. But I am more convinced that language differences reflects different way of thinking. However, reflecting doesn't mean causing.
      So I agree with you, the correlation between language and culture must be more complex than "language affects culture".

      But then again, I'm wondering of how far language can affect way of thinking. I mean, I was fascinated with Orwell's concept of Newspeak. It seems really plausible to me that this Newspeak can really control the citizen to be obedient to the government... ^^

      Delete
    2. Orwell's Newspeak? I think that's new for me. I would have to do some good readings about this before discussing this further. I wish we could meet up one day and talk about this in person. Maybe over a cup of coffee (or tea -- I assumed you don't want something with alcohol). Anyway... Talk about this more please >_< please please...

      Delete
    3. We should totally meet up, coffee or tea would be great! ^^ We can meet either here in Gothenburg or Norwich after you got your visa..? Or who knows maybe in another place...
      About this topic, I'll try to talk more if I find another interesting pieces... hopefully I'll also get enough time to do some research and write it... :)

      Delete

Terima kasih sudah membaca..!! :)
Silakan tinggalkan komentar disini ya...