Awareness >< Oversensitivity

November 25, 2014

Melihat isu-isu yang belakangan ini menghangat, saya jadi berpikir, batas antara bersikap kritis dan sensitivitas itu sepertinya tipis sekali.

Ambil contoh dari kasus t-shirt Dr. Matt Taylor. Sebagai perwakilan tim ilmuwan yang melaporkan keberhasilan proyek Rosetta mereka melalui wawancara di televisi, mungkin memang beliau kurang aware dalam memilih pakaian. Bagaimanapun, cara berpakaian itu termasuk ke dalam komunikasi non-verbal; Apa yang kita pakai bisa diinterpretasikan sebagai cerminan kepribadian, nilai-nilai yang dianut, dst. Maka dari itu dalam dunia profesional, dress code itu penting, supaya apa yang kita pakai tidak menimbulkan orang lain meragukan profesionalitas kita. Jadi, seandainya Pak Taylor pakai jubah putih ala-ala ilmuwan (stereotyping much?), atau setidaknya kemeja dengan pola yang biasa saja, nggak akan ada isu #Shirtgate.....

Tapi namanya juga orang sedang euforia karena keberhasilan proyek, plus beliau mau menghargai pemberian teman, dipakailah si bowling t-shirt dengan gambar-gambar wanita berbusana seksi... Yang membuat beberapa 'feminis' mengkritisi pakaian pak Taylor yang dianggap degrading terhadap wanita sampai ke tahap internet bullying terhadap sang ilmuwan, diikuti dengan permintaan maaf mengharukan dari Dr. Taylor lewat siaran nasional...  Yang kemudian memicu kritik terhadap gerakan feminis yang dianggap terlalu sensitif dan berstandar ganda. "If women can wear whatever they want, why can't men do so?". Yang kemudian menimbulkan klarifikasi antara 'feminist' dan 'feminazi'. Dst dst.

IMHO, nature dari gerakan feminisme itu mengkritisi kondisi sosial di masyarakat, demi mencapai kesetaraan gender. Jadi memang penting untuk tidak bersikap negligence terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar. Tapi ya kalau sedikit-sedikit mengkritisi hal-hal kecil yang tidak esensial, jadinya feminis malah kena cap oversensitive.... Sayang kan. Padahal kampanye Emma Watson mengenai feminisme di sidang PBB beberapa waktu yang lalu sudah keren sekali.


Contoh lainnya adalah protes terhadap karakter Black Piet di Belanda. Minggu lalu saya main sebentar ke Belanda untuk bersilaturahmi (semoga nanti bisa juga nulis tentang ini), kebetulan bertepatan dengan festival Sinterklass. Pas lagi jalan-jalan di pinggir sungai di Rotterdam bareng teman, sempat ketemu karakter Piet hitam yang kerja di perahu wisata, terusteman dari Belanda nyuruh saya dan Monic untuk foto sama si Piet, karena, "It couldn't be any more Dutch!". Saking karakter itu sudah jadi bagian dari tradisi disana.

Black Piet diceritakan sebagai asisten Sinterklaas (bukan Santa Claus), yang membantu membagi-bagikan permen untuk anak-anak baik dan memberi hukuman untuk anak-anak nakal di perayaan Sinterklaas, tiap tanggal 5 Desember. Karakter ini digambarkan berkulit gelap karena suka masuk cerobong asap, tapi sumber lain bilang karena dia adalah bangsa Moor dari Spanyol. Long story short. Karena digambarkan berkulit hitam, banyak pihak yang menyatakan bahwa karakter Black Piet ini menggambarkan rasisme dan kolonilamisme. Beberapa pihak melakukan penyesuaian, misalnya mengganti membuat karakter Piet punya warna kulit berwarna-warni (Red Piet.. Cheese Piet.. Rainbow Piet??)... Tapi banyak juga yang berpendapat bahwa karakter ini nggak menggambarkan rasisme, ini sekedar tradisi saja, dan orang-orang terlalu sensitif. Puncaknya, 16 November kemarin di kota Gouda (as in, keju Gouda ^^), sekian banyak protester ditangkap karena melakukan unjuk rasa ilegal dalam perayaan Sinterklaas. 

Kalau menurut saya, memang sih karakternya mencerminkan stereotype terhadap ras tertentu. Tapi agak ekstrim juga kalau mau menuntut untuk menghilangkan karakter yang sudah jadi bagian dari tradisi. Jadi yaa, susah juga...

Speaking of politically incorrect term, di Swedia juga ada kue yang mengalami perubahan nama. 

Gambar dari sini
Dulunya kue ini dinamai negerboll, secara harfiah artinya 'negro ball'.. Tapi karena dianggap offensive, sekarang namanya jadi Chokladbullar. Enak banget, agak mirip sama bola-bola coklat berbalut meses yang suka dibiin di Indo, tapi yang ini bahan utamanya oatmeal, mentega, coklat, gula, dan sedikit kopi. Yummy.

Kenapa jadi membahas makanan? Baiklah sudah mulai ngalor ngidul. Anyway, it's good to be back writing to this blog after some hiatus. Kemarin seperti biasa terlena dengan tugas-tugas kuliah dan ujian... >_<

You Might Also Like

2 comments

  1. iya ya, emg kadang orang2 suka oversensitive.
    meski batasan mana yg wajar dan mana yg oversensi, juga agak blur dan ambigu, sih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. mbak tykee... :D
      Setuju juga, batasannya emang ambigu dan tiap punya standar yang beda-beda sih ya....

      Delete

Terima kasih sudah membaca..!! :)
Silakan tinggalkan komentar disini ya...